Rabu, 07 November 2007

Kuliah Teori Sastra

SITI NURBAYA DALAM PANDANGAN
DEKONSTRUKSI PAUL DE MAN

Rina Ratih

1. Pengantar
Dekonstruksi termasuk pendekatan sastra yang relatif baru, baik di Eropa maupun di Amerika. Pelopornya ialah Jacques Derrida (ahli filsafat) dan Paul de Man (ahli sastra). Keduanya berangkat dari objek yang berbeda, yaitu filsafat dan sastra, tetapi mereka mempunyai kesimpulan yang hampir sama. Kesimpulannya, bahasa merupakan unsur yang mendasar dalam kehidupan manusia dan lebih substansial daripada bidang-bidang kehidupan lainnya.
Dekonstruksi berkembang pesat di Amerika. Dari Yale University lahir beberapa tokoh dekonstruksi, antara lain: Harold Bloom, Hillis Miller, Barbara Johnson, dan Geoffrey Hartman. Mereka kemudian dikenal sebagai Aliran Yale, tetapi setiap tokoh mencoba mengembangkan dekonstruksi menurut konsepnya masing-masing. Hal ini sesuai dengan konsep dasar dekonstruksi yang secara terus-menerus mengganti pembacaan atau penginterpretasian sebelumnya (de Man, 1979).
Menurut Faruk (1994:236), dekonstruksi menjadi paham yang amat penting dan berpengaruh besar terutama karena ia menghadapkan dirinya pada satu paham yang amat berakar dan lama dalam tradisi filsafat serta pemikiran pada umumnya. Tradisi yang dimaksud adalah Tradisi yang hidup berabad-abad dan tetap hidup hingga sekarang bahkan sampai kapan pun juga. Paham itu oleh Derrida disebut logosentrisme atau fonosentrisme.
Derrida mendefinisikan logosentrisme sebagai ‘keinginan akan suatu pusat’. Asal istilahnya berpusat pada ‘Perjanjian Baru’, Logos, yang mengkonsentrasikan pusat kehadiran pada sabda Tuhan, “Pada mulanya adalah kata”. Dalam bahasa Yunani, logos artinya ‘kata’. Kata berarti sesuatu yang diucapkan dan bersifat fonotik sehingga logosentrisme disebut juga fonosentrisme (Selden, 1989: 88-89).
Logosentrisme selalu mengembalikan asal kebenaran pada logos, pada kata-kata yang diucapkan, pada suara pikiran, pada kata Tuhan. Tulisan dianggap sebagai ‘tuturan kedua’, sebagai alat untuk memangku suara, sebagai pengganti instrumental dari kehadiran yang penuh. Tulisan datang kemudian dan merepresentasikan kejatuhan dari tuturan yang penuh (B. Leitch, 1983: 25).
Dekonstruksi merupakan penolakan terhadap logosentrisme. Ia memusatkan perhatiannya pada usaha yang terus-menerus untuk menghancurkan dan meniadakan pemusatan (decentering). Dekonstruksi tidak menawarkan pusat baru. Ia mencoba melacak jejak, operasi diferansi yang bekerja diam-diam dalam logosentrisme, teks-teks logosentrik.
Dalam studi sastra memang telah berkembang dekonstruksionisme. Akan tetapi, dekonstruksionisme itu tidak selalu seiring dan setia pada konsep dekonstruksionisme Derrida. Di antaranya bahkan ada yang terperangkap kembali dalam logosentrisme, seperti misalnya Saussure. Menurut Derrida, Saussure terperangkap dalam paham logosentrisme. Saussure cenderung memandang rendah tulisan, memuliakan tutur dan menjadikan tutur sebagai objek linguistiknya. Penanda bagi Saussure bukanlah tulisan, melainkan citra akustik (B. Leitch, 1983: 26). Namun, teori bahasa Saussure tetap saja membuka kemungkinan bahwa tulisanlah sebenarnya yang merupakan elemen utama analisis bahasa. Tulisanlah yang menurunkan bahasa dan tutur karena ia bekerja dengan prinsip murni yang diferensiasi, artikulasi, dan penjarakan. Tulisan merupakan aktivitas diferensiasi yang paling primordial (B. Leitch, 1983: 27).
Konsep diferensiasi primordial Derrida itu mendapatkan artikulasinya yang paling penuh dalam neologisme yang dibuatnya, yaitu differance. Differance berbeda dengan differance sebab dalam istilah yang difference tercakup tiga pengertian, yaitu (1) to differ, (2) differre, dan (3) to defer. Akan tetapi, perbedaan itu hanya dapat ditemukan dalam tulisan sebab dalam tuturan differance diucapkan sebagai difference. Hal ini menunjukkan bahwa prinsip differance lebih kuat beroperasi dalam tulisan (Faruk, 1994: 238).
Apabila dekonstruksi diterapkan dalam studi sastra, harus disertai catatan sebagaimana dikatakan Culler (1983:155) sebagai berikut. Pertama, dekonstruksi bukanlah teori, artinya tidak menawarkan teori yang lebih baik mengenai kebenaran, tetapi bekerja dalam dan sekitar kerangka diskursif yang sudah ada, tidak menawarkan dasar baru. Kedua, dekonstruksionisme merupakan paham filsafat yang menyeluruh mengenai aktivitas interpretasi, bukan paham yang khusus mengenai sastra meskipun di dalamnya teori sastra memerankan peranan penting karena (a) teori sastra bersifat komprehensif sehingga memungkinkannya melahirkan teori yang luar biasa, (b) teori sastra melakukan eksplorasi ke batas-batas pemahaman sehingga mengundang dan memprovokasikan diskusi-diskusi teoretik tentang pertanyaan-pertanyaan yang paling general mengenai rasionalitas, refleksi diri, dan signifikasi, dan (c) para teoretisi sastra secara khusus reseptif terhadap perkembangan teoretik yang baru dalam lapangan-lapangan lain karena mereka kurang punya komitmen disipliner yang khusus seperti yang dimiliki para pekerja di bidang-bidang itu.
Culler menambahkan bahwa dekonstruksi tidak dapat dilepaskan dari konstruksi yang sebelumnya, khususnya strukturalisme. Hal yang paling esensial dalam melakukan dekonstruksi adalah pembalikan terhadap hierarki, terhadap sistem oposisional yang sudah ada. Selanjutnya, dekonstruksi harus melakukan pembalikan terhadap oposisi-oposisi yang sudah klasik. Mendekonstruksi suatu wacana adalah menunjukkan bagaimana wacana itu merusakkan filsafat yang dinyatakannya sendiri, merusakkan oposisi-oposisi hierarkis dengan mengidentifikasikan di dalam teks operasi-operasi retorik yang memproduk dasar argumen yang diandaikan, konsep kunci atau premisnya.
Penerapan teori dekonstruksi terhadap kesusastraan Indonesia telah dilakukan oleh beberapa ahli, di antaranya oleh Umar Junus (Basis, April-Juni, 1992). Junus menggunakan teori dekonstruksi walaupun tidak menyebutkan secara eksplisit dekonstruksi Derrida atau Paul de Man. Alasannya, menurut Junus, karena dalam membahas Durga Umayi ia tidak mempergunakan bentuk-bentuk kebahasaan itu sebagai sesuatu yang substrantif (sebagai dasar pemaknaan), tetapi sebagai kesadaran penulis untuk menentang para penulis atau penguasa yang lain. Menurut Junus, penulis Durga Umayi (karya Mangunwijaya) sengaja mempergunakan bahasa yang dimain-mainkan untuk memberi alternatif atas dominannya bahasa baku dalam novel Indonesia, misalnya pembalikan kata (merdeka-kadamer, sabda-dabas, dan manis-sinam), kalimat-kalimat yang panjang (yang terpanjang 770 kata, terpendek 100 kata), dan kalimat yang tidak bersubjek. Wujud ini merupakan pemberontakan penulis terhadap penguasa yang membakukan tata bahasa.
Untuk membatasi masalah dan memusatkan perhatian, tulisan ini mencoba mengungkap dan menerangkan teori dekonstruksi Paul de Man dan sekaligus menerapkannya pada salah satu karya sastra Indonesia berjudul Siti Nurbaya karangan Marah Rusli.

2. Dekonstruksi Retoris Paul de Man
Dekonstruksi Paul de Man dikenal sebagai dekonstruksi retoris karena ia mempergunakan retorika bahasa sebagai dasar pembahasannya. Retorika dalam bahasa ada dua macam, yaitu retorika sebagai bentuk persuasi (dalam hubungannya dengan pemakai bahasa) dan retorika sebagai bentuk trope (bahasa kiasan). Paul de Man lebih menitikberatkan bentuk-bentuk trope daripada bentuk persuasinya. Ia dikenal konsisten dengan pendapatnya, yaitu mempertahankan dan mengembangkan pandangan dekonstruksi retorisnya. Hal ini dapat diamati dalam tulisan-tulisannya yang berjudul Blindness and Insight: Essays in the Rhetoric of Contemporery Criticism (1971), Allegories of Reading: Figural Language in Rousseau, Nietzche, Rilke, and Proust (1979), The Rhetoric of Romanticism (1984), dan The Resistance to Theory (1987).
Dalam Allegories of Reading (1979), de Man memperkenalkan tipe dekonstruksi yang retoris. ‘Retorik’ adalah istilah klasik bagi seni persuasif. Trope (bahasa kiasan) membiarkan penulis untuk mengatakan satu hal, tetapi berarti sesuatu yang lain, yaitu mengganti satu tanda bagi yang lain (metafora), atau mengganti arti dari satu tanda dalam sebuah rangkaian dengan yang lain (metonimi). Trope meliputi bahasa, menggunakan kekuatan yang menggoncangkan logika, dan menolak kemungkinan penggunaan bahasa literal atau referensial secara langsung (Selden, 1991: 94-95).
Paul de Man mendasarkan teorinya dalam pembacaan yang teliti atas teks-teks khusus. Ia menganggap bahwa itu adalah efek bahasa dan retorik yang mencegah penggambaran langsung pada kenyataan. Ia sependapat dengan Nietzsche bahwa bahasa pada hakikatnya bersifat kiasan dan tidak referensial atau ekspresif; tidak ada bahasa asal yang tidak retoris. Artinya, ‘referensi’ selalu dirancukan dengan figuralitas atau kekiasan (Selden, 1991: 96). Paul de Man mengkritik pandangan lama antara penanda (signifier) dan petandanya (signified). Penanda memiliki hubungan arbitrer dengan petandanya, dalam arti penanda memiliki makna yang tidak terbatas karena bersifat subjektif terhadap penerimanya (de Man, 1979:105).
Dalam The Resistance to Theory (1987), de Man mencoba meletakkan kedudukan dekonstruksi retoris dalam pemikiran para ahli abad XX, juga menjelaskan perbedaan dan persamaannya. Dalam hubungannya dengan bahasa, pada tahap awalnya struktur bahasa merupakan struktur yang otonom, yang tidak dibebani oleh makna (kosong makna). Pada tahap selanjutnya, pemaknaan terhadap struktur bahasa dilakukan oleh setiap individu.
Pemaknaan terhadap penanda itu memiliki variabel yang tidak terbatas (bebas makna) karena pada dasarnya setiap individu berbeda. Penanda bahasa (bahasa itu sendiri) berada di luar jangkauan manusia dan tidak berciri manusia, baru pada tahap pemaknaan berciri manusia. Ciri kosong itulah yang menjadikan bahasa sebagai sebuah substansi (sublimasi) karena membuat bahasa sebagai sesuatu yang bebas dari dorongan, keinginan, tujuan, dan pamrih-pamrih seseorang. Dengan demikian, bahasa mempunyai makna yang radikal, sebagai muara sekaligus hulu bagi makna-makna lain yang masih manusiawi, tergantung pada individunya.
Pada tahap awalnya, struktur bahasa merupakan struktur penanda yang otonom, yang tidak dibebani oleh makna (kosong terhadap makna). Seperti contohnya puisi tradisional yang menempatkan kedalaman makna dalam sebuah referen yang dipandang sebagai objek atau sebuah kesadaran, sedangkan bahasa hanya merupakan refleksi dari pernyataan.
Paul de Man menganalisis struktur yang beroposisi secara aporistis, yang saling memerlukan dan sekaligus saling meniadakan. Pada tahap interpretasi, ia mempergunakan retorika sebagai bentuk persuasi, dalam arti bahwa penginterpretasian makna terhadap karya sastra itu memiliki kemungkinan tidak terbatas sesuai dengan pembacanya. Kebebasan interpretasi memungkinkan pembacaan sebelumnya selalu didekonstruksi oleh pembacaan sesudahnya. Pada tahap yang substantif, semuanya dikembalikan pada kemutlakan yang kosong yang masih berupa struktur, tanpa adanya intervensi makna. Pada proses pemaknaan, makna itu muncul dan bersifat relatif.
Dekonstruksi tidak hanya berupa sebuah teori, tetapi juga sebuah pendekatan yang tidak jauh berbeda dengan pendekatan struktural. Pendekatan dekonstruksi lebih menekankan segi struktur daripada segi lainnya (pemaknaan). Bentuk-bentuk yang digunakan dalam pendekatan struktur adalah bentuk-bentuk yang beroposisi secara timbal balik, yang disebut Paul de Man sebagai bentuk retoris.
3. Siti Nurbaya: Analisis Dekonstruksi
Analisis novel Siti Nurbaya, sesuai dengan konsep dekonstruksi di atas, akan dititikberatkan pada struktur-struktur pembentuknya, seperti tokoh, alur, latar, dan penggunaan bahasa. Struktur-struktur itu dilihat dari hubungan retorisnya, yaitu hubungan dualistis yang saling memerlukan sekaligus saling menanggalkan. Oleh karena itu, dalam membahas tokoh akan lebih ditekankan pada konflik-konfliknya.
Konflik merupakan substansi karena belum memiliki makna (bermakna), misalnya konflik gender, penjajah-terjajah, tradisi-modern, dan lain-lain. Meskipun demikian, hubungan antara struktur kosong dan makna merupakan dua hal yang saling memerlukan atau membentuk hubungan yang retoris.
Brunetiere (Shipley, 1970: 82) menyatakan bahwa konflik merupakan unsur dasar dalam menentukan tindakan (gerakan) dalam cerita. Konflik melibatkan tidak lebih dari dua kekuatan yang bertentangan. Ia membagi konflik menjadi tiga macam, yaitu konflik batin, konflik antartokoh, dan konflik tokoh dengan masyarakatnya.
Dalam Siti Nurbaya (selanjutnya disingkat SN), tokoh-tokohnya mengalami konflik batin, di antaranya Siti Nurbaya, Samsulbahri, dan Baginda Sulaiman. Konflik biasa terjadi karena angan-angan dengan cita-cita tokoh berbenturan dengan kenyataan. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa kenyataan lebih kuat daripada cita-cita tokoh. Akibatnya, tokoh berusaha melarikan diri dari kenyataan.
Tokoh protagonis dalam SN adalah Siti Nurbaya. Ia memiliki cita-cita menikah dan hidup bersama kekasihnya, Samsulbahri. Sejak kecil, mereka tumbuh dan sekolah bersama. Kedua orang tua mereka pun sudah saling mengenal dan memiliki hubungan yang baik. Karena mereka selalu bersama itulah terjalin hubungan cinta kasih antara keduanya. Kepergian Samsulbahri untuk sekolah dokter di Batavia merupakan kesedihan bagi Nurbaya, seperti terlihat pada kutipan berikut.
Tatkala Nurbaya tiada dapat lagi membedakan kekasihnya, daripada orang lain, di atas kapal, berjalanlah ia perlahan-lahan ke ujung suatu tanjung, akan mengikuti kapal itu dengan matanya. Makin lama makin sunyilah rasanya padanya alam ini (hlm. 81)
Kehadiran tokoh antagonis--Datuk Maringgih yang licik--mengubur cita-cita Nurbaya menikah bersama kekasihnya. Awalnya, Baginda Sulaiman terlibat hutang kepada Datuk Maringgih. Dengan kelicikannya, Datuk Maringgih berhasil mempedaya Baginda Sulaiman sehingga tidak mampu membayar hutang pada waktu yang telah ditentukan. Datuk Maringgih tidak akan menjebloskan Baginda Sulaiman ke penjara tetapi dengan satu syarat: menyerahkan Nurbaya. Nurbaya tidak sampai hati dan merasa kasihan apabila ayahnya harus masuk penjara. Oleh sebab itu, Nurbaya memutuskan untuk ‘menyelamatkan ayahnya’ dari penjara dan bersedia menjadi istri Datuk Maringgih, seperti tampak pada kutipan berikut.
Tatkala kulihat ayahku akan dibawa ke dalam penjara, sebagai seorang penjahat yang bersalah besar, gelaplah mataku dan hilanglah pikiranku dan dengan tiada kuketahui, keluarlah aku, lalu berteriak, jangan dipenjarakan ayahku! Biarlah aku jadi istri Datuk Meringgih!” (hlm. 119)

Kutipan di atas merupakan kata-kata dalam surat yang ditulis Nurbaya untuk kekasihnya, Samsulbahri. Dalam perkawinannya dengan Datuk Maringgih, Nurbaya tidak bahagia. Ia mengalami konflik batin, seperti pada kutipan di bawah ini.
Semalam-malam aku menangis, karena tak dapat menahan hati. Tatkala aku bertemu pila dengan suamiku, adalah sebagai aku melihat binatang rasanya, aku melihat dia: benci dan marah, datang berganti-ganti (hlm. 207).

Oleh sebab itu tiada terderita olehku penanggungan yang sebagai ini, timbullah ingatan dalam hatiku hendak membunuh diriku. Itulah hukuman yang berpadanan dengan dosaku. Seribu kali lebih suka aku mati berkalang tanah, daripada hidup bercermin bangkai (hlm.122).

Ketika Nurbaya bertemu dengan Samsulbahri pada hari raya lebaran di Padang, Datuk Maringgih cemburu dan menuduh Samsulbahri berbuat tidak senonoh pada Nurbaya. Datuk Maringgih dan Samsulbahri berkelahi. Melihat perkelahian itu, ayah Nurbaya jatuh terguling-guling hingga akhirnya meninggal. Karena malu atas perbuatan anaknya, maka Sutan Mahmud mengusir Samsulbahri. Setelah peristiwa perkelahian itu, Samsulbahri pergi ke Jakarta, sedangkan Nurbaya menumpang di rumah familinya.
Suatu ketika, secara sembunyi-sembunyi Nurbaya bermaksud menyusul Samsulbahri ke Batavia, tetapi diketahui Datuk Maringgihm suaminya. Dengan tipu muslihat, Datuk Maringgih berhasil memperdaya Nurbaya sampai akhirnya ia dikembalikan ke Padang dengan tuduhan mengambil barang-barang milik Datuk Maringgih. Setelah diadili, Nurbaya dinyatakan bebas karena tidak terbukti bersalah. Datuk Maringgih tidak puas dengan keputusan pengadilan. Karena itulah, dengan segala tipu daya, ia mengupah orang untuk meracuni Nurbaya dengan kue lemang. Usaha anak buah Datuk Maringgih itu berhasil. Nurbaya makan kue lemang yang telah diracuni dan akhirnya meninggal.
Nurbaya adalah tokoh yang gagal meraih cita-cita hidupnya. Cita-cita dan kenyataan hidupnya saling bertentangan. Walaupun ia memutuskan meninggalkan kehidupan bersama Datuk Maringgih, hidup yang dihadapinya ternyata lebih mengenaskan (kematian). Jadi, konflik batin tokoh Nurbaya tampak menonjol dalam cerita ini karena cita-cita tokoh yang hidup dalam alam romantik berbenturan dengan kenyataan pahit yang dihadapinya.
Konflik batin juga dialami tokoh Samsulbahri. Setelah mengetahui kekasihnya--Nurbaya terpaksa menikah dengan Datuk Maringgih--, Samsulbahri seolah kehilangan pegangan hidup. Surat Nurbaya yang menceritakan penderitaan-penderitaannya membuat Samsulbahri merasa sedih, seperti pada kutipan berikut.
Setelah Samsu membaca surat ini, direbahkannyalah dirinya di tempat tidurnya, lalu menelungkup manangis tersedu-sedu semalam-malaman itu (hlm. 123).
Cita-citanya menikah dan hidup bahagia bersama Nurbaya hanya merupakan harapan yang sia-sia saja. Pertemuannya dengan Nurbaya di Padang pada hari raya Lebaran justru menimbulkan permasalahan dan konflik yang lebih luas. Tuduhan Datuk Maringgih bahwa dirinya bertindak tidak senonoh dengan Nurbaya menimbulkan perkelahian di antara keduanya. Sutan Mahmud mengusir anaknya karena malu, seperti apa yang dikatakan pada kutipan berikut.
“Perbuatanmu ini sangat memberi malu aku, sebab tak patut sekali-kali. Kemanakah akan kusembunyikan mukaku? Bagaimanakah aku akan menghapus arang yang telah kau corengkan pada mukaku ini? Perbuatan yang demikian bukanlah perbuatan orang yang berbangsa, anak orang yang berpangkat tinggi, orang yang terpelajar, melainkan pekerjaan orang yang hina, yang tak tahu adat dan kelakuan yang baik.”
....
Kesalahanmu tak dapat kuampuni, karena sangat memberi aib. Pergilah engkau dari sini! Sebab aku tak hendak mengakui engkau lagi. Yang berbuat demikian, bukan anakku” (hlm. 156)

Samsulbahri mengalami konflik batin. Ia merasa kasihan kepada Nurbaya karena hidupnya menderita. Ia juga merasa bersalah ketika ayah Nurbaya meninggal setelah menyaksikan perkelahiannya dengan Datuk Maringgih, seperti tampak pada kutipan di bawah ini.
Kelihatan Baginda Sulaiman keluar dari biliknya, karena ia sangat terperanjat, mendengar suara anaknya minta tolong, sehingga ia bangun dari tempat tidurnya. Tatkala ia hendak turun di tangga yang gelap itu, jatuhlah ia terguling-guling ke bawah. Melihat hal ayahnya ini, berlari-larilah Nurbaya denga, akan menolong Baginda Sulaiman. Akan tetapi, ketika diangkat, nyatalah orang tua itu, telah berpulang ke rahmatullah. Inna Lillahi wa inna ilaihi rajiun! (hlm. 154)

Setelah diusir ayahnya, Samsulbahri melarikan diri ke Jakarta. Dalam pengembaraannya, Samsulbahri mengalami konflik batin, seperti tampak dalam suratnya berikut ini.
Sejak ananda menjadi yatim, tiada berayah berkaum keluarga, tiada berkampung berhalaman dan tiada berumah bertanah air, sampai kepada waktu ini, belumlah anada merasai suatu kesenangan (hlm. 221).

Aduhai! Di situlah putus pengharapan, habis sabar dan hilang akal ananda. Sekaranglah ananda menjadi yatim piatu, tiada beribu, tiada berbapa, tiada bersanak atau saudara, tiada kaum kerabat,,kampung halaman dan tanah air lagi. Oleh sebab itu, apalah gunanya ananda hidup juga? Daripada hidup bercermin bangkai lebih baik mati berkalang tanah.” (hlm. 222).

Konflik batin yang diderita Samsulbahri tampak pada dua kutipan di atas. Kutipan pertama, berupa surat permohonan maaf kepada ayahnya, Sutan Mahmud, karena telah mencoreng nama baik keluarga. Peristiwa yang terjadi berkaitan dengan tuduhan Datuk Maringgih terhadap Samsulbahri yang dianggap telah berbuat tidak senonoh kepada Nurbaya. Kutipan kedua, perasaan putus asa Samsulbahri setelah kematian Nurbaya dan ibunya.
Sepuluh tahun kemudian, Samsulbahri diceritakan telah menjadi seorang tentara KNIL di Bandung dengan nama Letnan Mas. Letnan Mas digambarkan sebagai seorang opsir bumiputra yang pendiam, tidak seriang teman-temannya, air mukanya bagai seorang yang telah banyak menanggung azab dan sengsara.
Konflik batin dialami juga oleh tokoh Baginda Sulaiman, ayah Nurbaya. Ia merasa bersalah telah bekerja sama (meminjam uang untuk modal) dengan Datuk Maringgih yang terkenal licik itu. Akibat ulah Datuk Maringgih dan anak buahnya, Baginda Sulaiman gagal mengembalikan hutangnya dalam waktu yang telah disepakati. Kegagalan membayar hutang itu digunakan Datuk Maringgih untuk menjebloskannya ke penjara kecuali menyerahkan putrinya (Nurbaya) untuk dijadikan istri. Rasa bersalah itulah yang melahirkan konflik batin baginda Sulaiman sampai akhirnya ia sakit-sakitan.
Selain konflik batin tokoh, terdapat juga konflik antartokoh dalam SN, seperti tampak pada tokoh-tokoh berikut (1) Siti Nurbaya--Datuk Maringgih, (2) Baginda Sulaiman--Datuk Maringgih, (3) Sutan Mahmud--Puti Rubiah, dan (4) Samsulbahri--Datuk Maringgih. Mengamati konflik-konflik yang terjadi dalam SN, tokoh Datuk Maringgih merupakan satu-satunya tokoh yang paling banyak menimbulkan konflik dengan tokoh lain. Hal ini wajar karena Datuk Maringgih merupakan tokoh antagonis yang ditampilkan dengan berbagai watak yang buruk.
Konflik terjadi antara Nurbaya dan Datuk Maringgih. Perkawinan mereka yang tidak dilandasi cinta tidak menciptakan kebahagiaan. Pada saat ayah Nurbaya meninggal, Datuk Maringgih justru menuduh Nurbaya-lah penyebabnya. Akibatnya terjadi pertengkaran di antara mereka, seperti tampak pada kutipan berikut.
“Apa katamu?” Kata Nurbaya. “Aku membunuh ayahku, celaka? Engkau yang membunuhnya! Pada sangkamu aku tiada tahu, perbuatanmu yang keji itu kepada ayahku? (hlm.155).

Konflik suami istri itu memuncak ketika Datuk Maringgih menuduh Samsulbahri bertindak tidak senonoh pada Nurbaya. Nurbaya kemudian memutuskan pergi dari rumah dan menumpang di rumah saudaranya. Sejak itulah, Datuk Maringgih mengutus anak buahnya untuk memata-matai Nurbaya. Suatu saat, anak buah Datuk Maringgih berhasil membawa kembali Nurbaya yang melarikan diri. Pada saat itu, Nurbaya sudah menaiki kapal hendak ke Jakarta menemui Samsulbahri, tetapi Nurbaya dituduh mengambil barang-barang milik Datuk Maringgih. Tuduhan Datuk Maringgih dilanjutkan ke pengadilan sampai Nurbaya disidangkan. Konflik Nurbaya dengan Datuk Maringgih merupakan konflik suami-istri akibat tidak adanya rasa cinta dan akibat sebuah perkawinan yang dipaksakan.
Konflik antartokoh yang lain terjadi antara Baginda Sulaiman dan Datuk Maringgih. Konflik itu berawal dari sebuah kerja sama. Baginda Sulaiman yang mengalami kebangkrutan membutuhkan modal untuk menjalankan usahanya kembali. Ia meminjam modal kepada Datuk Maringgih dengan janji dalam waktu 3 bulan pinjaman kembali. Akan tetapi, anak buah Datuk Maringgih berhasil menggagalkan usaha-usaha yang dirintis Baginda Sulaiman. Akibatnya, tiga bulan kemudian, Baginda Sulaiman tidak mampu mengembalikan pinjaman kepada Datuk Maringgih. Untuk membayar hutang, Baginda Sulaiman harus memilih dua hal, yaitu masuk penjara atau menyerahkan putrinya kepada Datuk Maringgih. Pada akhirnya, Baginda Sulaiman mengetahui kalau ia diperdaya oleh Datuk Maringgih seperti tampak pada kutipan berikut ini.
“Sekarang barulah kuketahui bahwa kejatuhanku ini semata-mata karena perbuatanmu juga karena busuk hatimu, dengki dan tak dapat engkau melihat orang lain berharta pula seperti engaku. Dengan berbuat berpura-pura bersahabat karib dengan aku, kauperdayakan aku, sampai aku jatuh ke dalam tanganmu dan harus menurut sebarang kehndakmu yang keji itu “(hlm.119).

Konflik Baginda Sulaiman dengan Datuk Maringgih ini diakhiri dengan kesediaan Nurbaya menjadi istri Datuk Maringgih.
Konflik antara Sutan Mahmud dan Puti Rubiah merupakan konflik yang terjadi antarsaudara. Sutan Mahmud yang menyekolahkan anaknya (Samsulbahri) ke sekolah dokter STOVIA di Jakarta, ditentang oleh Puti Rubiah. Menurut adat, seharusnya Sutan Mahmud menanggung kehidupan kemenakannya bernama Rukiah daripada anaknya sendiri. Konflik antarsaudara ini muncul karena adat yang selama ini berlaku di Padang tidak diindahkan oleh Sutan Mahmud. Seperti yang dikatakan Puti Rubiah, seharusnya Sutan Mahmud mengurus dan bertanggung jawab atas kehidupan kemenakannya (Rukiah), bukan menyekolahkan anaknya sendiri (Samsulbahri).
Konflik antara Samsulbahri dan Datuk Maringgih merupakan konflik yang paling kuat di antara konflik-konflik antartokoh dalam SN. Berawal dari kelicikan Datuk Maringgih yang ‘merebut’ Nurbaya membuat Samsulbahri menyimpan rasa dendam pada Datuk Maringgih. Konflik berikutnya muncul ketika Datuk Maringgih menuduh Samsulbahri berbuat tidak senonoh dengan Nurbaya pada hari raya lebaran di Padang. Samsulbahri tidak dapat menahan emosinya, ia berkata di depan Datuk Maringgih seperti berikut.
“Tak perlu engkau berkata begitu! Bercerminlah engkau kepada badanmu sendiri! Adakah engkau sendiri berlaku sopan santun berhati lurus dan benar, tahu adat istiadat? Jika ada iblis yang sejahat-jahatnya di atas dunia ini, tentu engkaulah iblis itu” (hlm.152).

Samsulbahri berkelahi dengan Datuk Maringgih. Perkelahian itu justru menimbulkan konflik baru. Samsulbahri diusir oleh ayahnya, Sutan Mahmud.
Konflik antara Samsulbahri dan Datuk Maringgih kembali terjadi sepuluh tahun kemudian. Perkelahian di rumah Nurbaya pada hari raya lebaran dulu kembali terulang dalam sebuah penyerangan pemberontak di Padang. Samsulbahri telah menjadi Letnan Mas yang memimpin penyerangan itu, sedangkan Datuk Maringgih menjadi pemimpin pemberontak yang membangkang tidak mau membayar pajak kepada Belanda. Samsulbahri berhadapan dengan Datuk Maringgih dalam sebuah perang fisik.
Setelah berhadap-hadapan mereka, nyatalah pada Letnan Mas, bahwa persangkaannya tadi benar, karena sesungguhnya Datuk Meringgih, algojo Nurbaya, yang berdiri di mukanya, lalu berkatalah ia, “Datuk Meringgih! Benarkah engkau ini?”. “Ya, akulah Datuk Meringgih, saudagar yang kaya di Padang ini,“ jawab kepala perusuh itu, “Engkau ini siapa, maka kenal padaku?“ Setelah diamat-amatinya Letnan Mas ini, terperanjatlah ia lalu surut beberapa langkah ke belakang, seraya berteriak, “Sasulbahri! Engkau tiada mati? Atau setannyakah ini?” (hlm. 260).

Mereka berada pada dua kutub yang berlawanan. Samsulbahri sebagai tentara KNIL, Letnan Mas sebagai pemimpin penyerangan, sedangkan Datuk Maringgih berpihak pada rakyat Padang yang dianggap sebagai pemberontak karena tidak mau membayar pajak kepada Belanda. Konflik antara Samsulbahri dan Datuk Maringgih ini merupakan konflik antartokoh yang terus-menerus memberi ‘benang merah’ dalam alur cerita. Konflik yang awalnya hanya merupakan konflik batin bagi Samsulbahri berubah menjadi konflik berupa pertarungan fisik antara keduanya. Konflik antara Samsulbahri dan Datuk Maringgih tidak dapat dilepaskan dari sosok Nurbaya, kekasih Samsulbahri yang ‘direbut’ Datuk Maringgih.
Plot (alur) SN dapat dibedakan menjadi dua, yaitu alur angan-angan dan alur kenyataan. Bentuk retoris alur angan-angan dan alur kenyataan itu mirip dengan konflik batin dalam diri tokoh karena kenyataan lebih kuat daripada angan-angan. Oleh sebab itu, alur angan-angan banyak dijumpai dalam novel ini sebagai pendukung konflik batin. Dengan kata lain, alur angan-angan dan alur kenyataan merupakan dua bagian yang tidak terpisahkan dalam cerita: saling mendukung sekaligus saling meninggalkan.
Bentuk alur yang lain ialah alur lurus (progresif) dan alur sorot balik (regresif). Alur lurus biasanya menceritakan kenyataan yang terjadi dalam cerita, sedangkan alur sorot balik menceritakan masa lalu atau kenangan yang indah. Alur regresif, misalnya (1) kenangan Nurbaya terhadap Samsulbahri ketika mereka bertamasya bersama Arifin dan Bachtiar ke gunung Padang, dan (2) kenangan Nurbaya ketika Samsulbahri mengungkapkan perasaan cintanya berupa pantun-pantun pada saat mereka berduaan, dan masih banyak contoh lainnya.
Setting atau latar dalam SN dapat dibedakan menjadi latar tempat, latar waktu, latar alat, dan latar sosial. Latar tempat adalah di kota Padang, Gunung Padang, dan Jakarta. Sebagian besar cerita berlatar tempat di kota Padang. Cerita yang berlatar Jakarta, contohnya ketika Samsulbahri sekolah dokter STOVIA, sedangkan peristiwa-peristiwa lainnya terjadi di Padang dan sekitarnya. Cerita Nurbaya dan Samsulbahri ketika masih remaja, cerita pernikahan Nurbaya dengan Datuk Maringgih, cerita pertemuan Nurbaya dengan Samsulbahri pada hari raya Lebaran, cerita penyerangan Letnan Mas terhadap rakyat yang tidak mau membayar pajak, semuanya terjadi di kota Padang. Ada sedikit latar tempat yang diceritakan di kapal ketika Nurbaya hendak melarikan diri menuju Jakarta.
Latar waktu terjadi pada siang dan malam hari pada zaman penjajahan Belanda. Latar waktu tampak jelas ketika Samsulbahri menjadi Letnan Mas, pemimpin tentara KNIL, yang menyerang pemberontak (membangkang membayar pajak pada Belanda) di Padang. Membayar pajak merupakan kewajiban rakyat kepada pemerintah (penjajah Belanda). Oleh karena itu, apabila ada daerah yang tidak tunduk pada penjajah dilakukan kekerasan dalam bentuk penyerangan. Barang siapa yang menolak membayar pajak dianggap sebagai pemberontak. Latar waktu malam hari yang banyak digambarkan dalam SN sangat mendukung konflik batin tokoh yang sering diwujudkan dalam lamunan dan cita-cita tokoh.
Latar alat dalam cerita ini berupa model rumah, perabotan rumah tangga, dan alat-alat lain yang mencerminkan keberadaan tokoh. Model rumah Baginda Sulaiman dan Sutan Mahmud beserta perabotannya yang dapat menunjukkan latar alat cerita ini terjadi di daerah Padang, seperti tampak pada kutipan berikut.
Dari jauh telah nyata kelihatan, gedung ini kepunyaan seorang mampu, karena rupanya sederhana, pekarangannya besar dan dipagar dengan kayu yang bercat hitam. Di dalam pekarangan ini, banyak tumbuh-tumbuhan yang sedang berbuah dan bunga-bunga yang sedang berkembang.
....
Pada bentuknya nyata, gedung ini buatan lama; karena bangunnya tinggi, tiangnya besar berukir-ukiran, lantainya papan, demikian pula dindingnya; atapnya genting dilapisi dengan rumbia, sehingga tidak mudah bocor. Di bawah lampu itu adalah sebuah meja marmar bulat, dikelilingi oleh empat buah kursi goyang (hlm. 18).

Dua kutipan di atas menggambarkan model dan perabotan rumah yang menunjukkan status sosial tokoh-tokoh dalam SN. Tokoh yang memiliki rumah dan halaman besar serta perabotan yang lengkap menunjukkan tokoh berstatus sosial tinggi atau orang kaya.
Latar sosial berhubungan dengan status sosial tokoh-tokohya dan tata nilai dalam kehidupan masyarakatnya. Tokoh-tokoh dalam SN berstatus sosial tinggi, seperti Baginda Sulaiman dan Sutan Mahmud. Status sosial Nurbaya dan Samsulbahri sebagai orang berpendidikan, sedangkan status sosial Datuk Maringgih berkebalikan (dipertentangkan). Ia tidak berpendidikan, tetapi memiliki kekayaan melimpah walaupun didapatkan dengan berbagai tipu muslihat.
Status sosial keluarga yang tinggi dan berpendidikan bagi Nurbaya dan Samsulbahri tidak menjamin mereka hidup bahagia. Hal ini tampak seperti dalam nasihat Baginda Sulaiman kepada Samsulbahri berikut.
Kekayaan yang besar, pangkat yang tinggi, bangsa yang mulia, tiada selamanya membawa kesenangan; kerena kebanyakan manusia bersifat tamak, tiada menerima yang telah dikaruniakan Tuhan kepadanya, melainkan hendak bertambah-tambah dan berlebih-lebihan juga (hlm. 137).

Dalam SN, penderitaan yang dialami tokoh-tokohnya sebagian besar diakibatkan oleh ulah dan kelicikan Datuk Maringgih.
Selain hal di atas, yang menarik dalam SN adalah masalah penggunaan bahasa. Salah satu penggunaan bahasa yang menarik itu ialah penjajaran kata yang bertentangan artinya. Model penggunaan bahasa lainnya ialah penggunaan bahasa kiasan (trope), seperti metafora, simile, metonimi, dan ironi. Dapat dikatakan bahwa SN adalah sebuah metafora kehidupan, artinya cerita ini dapat dihubungkan dengan kenyataan sejarah pada waktu tertentu meskipun banyak perbedaannya.
Penggunaan metafora diperluas sebagai alegori; Siti Nurbaya dapat dimetaforakan dengan kaum tertindas; Samsulbahri adalah kelompok terpelajar yang menjadi korban dan memutuskan membela penjajah; Baginda Sulaiman adalah korban penipuan; sedangkan Datuk Maringgih sebagai kelompok orang-orang tak berpendidikan, tetapi dengan segala tipu dayanya mereka berhasil mengalahkan lawan-lawannya.
Penggunaan simile dengan kata-kata pembanding seperti, seolah-olah, sebagai, dan lain-lain dapat diinterpretasikan sebagai keragu-raguan tokoh dalam menghadapi pertentangan yang terjadi. Bentuk metonimi berhubungan dengan nama tokoh, seperti nama Baginda Sulaiman, Sutan Mahmud, dan Puti Rabiah adalah nama-nama tokoh yang berasal dan berstatus sosial tinggi di daerah Padang, Sumatra Barat.
Bentuk ironi merupakan trope yang banyak terdapat dalam SN. Keseluruhan cerita ini dapat diinterpretasikan sebagai ironi karena ingin menyatakan hal yang sebaliknya. Misalnya, penderitaan Nurbaya dan perjuangannya melepaskan diri dari Datuk Maringgih merupakan kemenangan tersendiri; penderitaan Samsulbahri dan keberhasilannya menjadi seorang tentara bernama Letnan Mas juga merupakan kemenangan; dan sebaliknya, keberhasilan Datuk Maringgih menikahi Nurbaya dan kemudian meracuninya sesungguhnya merupakan kekalahan Datuk Maringgih dalam menaklukan hati wanita.

4. Penutup
Penerapan teori dekonstruksi Paul de Man ternyata dapat dilakukan pada karya sastra Indonesia, khususnya karya sastra yang memiliki bentuk-bentuk trope yang dominan. Akan tetapi, penerapan teori itu perlu dimodifikasi secara terus-menerus karena setiap karya sastra memiliki karakter yang berbeda-beda.
Siti Nurbaya karya Marah Rusli termasuk salah satu karya sastra Indonesia yang memiliki bentuk-bentuk trope dominan sehingga dapat dianalisis dengan teori dekonstruksi seperti yang telah dipaparkan di depan. Penerapan teori dekonstruksi pada SN baru pada unsur tokoh, plot, dan latar. Tentu saja masih banyak unsur lain yang perlu dibicarakan.
Pemaknaan SN secara radikal dapat dikembalikan pada bahasanya yang pada tahap awalnya kosong makna. Akan tetapi, pada tahap berikutnya dapat dimaknai sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjalin di dalamnya. Pemaknaan yang radikal terhadap SN dapat memberikan sesuatu yang sublim pada pembaca, sedangkan pemaknaan pada tahap berikutnya dapat memberikan kemungkinan variabel yang tidak tergantung pada pembaca.




DAFTAR PUSTAKA

Culler, Jonathan. 1988. Framing The Sign, Criticism and Its Institutions. London: University of Oklohama Press.

Faruk. 1994. Ed. Jabrohim. “Dekonstruksionisme dalam Studi Sastra” dalam Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyarakat Poetika IKIP Muhammadiyah.

de Man, Paul. 1971. Blindness and Insight: Essays in the Rhetoric of Contemporery Criticism. New Haven and London: Oxford University Press.

--------. 1979. Allegories of Reading: Figural Language in Rousseau, Rilke, and Proust. London: Yale University Press.

--------. 1984. Rhetoric of Romanticism. New York: Colombia University Press.

--------. 1987. The Resistance to Theory. Dalam Theory and History of Literature, volume 33, cetakan ke-2. Minneapolis: University of Minnesota Press.

Rusli, Marah. 1994. Cetakan ke-24. Siti Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka.

Selden, Raman. 1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Terjemahan Rachmat Djoko Pradopo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Shipley, Joseph T. (Ed.) 1970. Dictionary of World od Literary Terms. Edisi revisi. Boston: The Writer Inc.